Sanggar kaligrafi Asta Qalam Kudus membuka kembali pelatihan kursus kaligrafi via MTQ bagi pemula maupun yang sudah mahir/ ahli kaligrafi. Akan dibimbing oleh pengajar yang profesional - kaligrafer juara nasional. Pendaftaran dimulai tanggal 10 agustus sampai dengan 10 september 2017. Kursus akan dimulai setiap hari ahad jam 08.30 wib di Sanggar Kaligrafi Asta Qalam Kudus (AQK) paket 3 bulan selesai
Paket basic 1:
Pendaftaran Rp. 100.000,- dan Rp. 300.000,- (biaya kursus).
Paket basic lukis kaligrafi:
Pendaftaran Rp. 100.000,- dan Rp. 500.000,- (biaya kursus).
Silahkan daftar lewat via WA : 085725329388
Pendaftaran dan biaya kursus dikirim ke no rek BRI atas nama H. Purwanto: 5927-01-000745-50-0
Alamat Rt O5 Rw 03 Sosok, Honggosoco, Kudus, Jawa Tengah.
Sabtu, 05 Agustus 2017
DIBUKA KEMBALI PENDAFTARAN KURSUS KALIGRAFI DI SANGGAR ASTA QALAM KUDUS AQK
MOMEN PEMBINAAN MTQ KOTA BANDUNG DAN TC MTQ PROP. JABAR MENUJU MTQ NASIONAL
Ini adalah saat pembinaan MTQ di kota Bandung dan TC MTQ Prop. Jabar menuju MTQ Nasional. Terlihat H. Purwanto Zain dan istrinya Dwi Widayanti bersama Ustadz H. Mu'min 'Ainul Mubarok qori' juara 1 internasional saat pembinaan di Hotel Lingga dan hotel Puri Katulistiwa kota Bandung Jabar. Bagi peserta MTQ, mulai langkah dan nafasnya adalah syi'ar bersama seni islami yang menggaung indah bersama para ahlul qur'an. Syi'ar ini diselenggarakan tiap tahun sebagai agenda tahunan.
Senin, 31 Juli 2017
DIALOG ANTARA GURU DAN MURID
Kyai Didin berpesan, "Jangan berhenti berkarya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, karena kalau hanya bermanfaat untuk diri sendiri akan sia-sia".
Walau kondisi Kyai Didin msh lemas, nasihat-nasehat beliau selalu mengalir terus, nasehat guru adalah butiran-butiran mutiara hikmah, begitu semanggatnya beliau bicara, ini adalah momen yang penting bagi H. Purwanto Zsin dan Ustadz Muhammad Assiry disaat keduanya membesuk guru mereka berdua di RS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karena jarang-jarang bisa berjumpa dalam suasana sukacita dan keharuan. H. Purwanto Zain pun bercerita pada beliau, bahwa H. Purwanto Zain pernah bermimpi berada dalam majlis pengajian Syeh Didin di pesantren sukabumi, begitu penuh beliau dikerumuni para santri yang lagi khusyu' mendengarkan pengajian beliau.
Siapa yang tidak kenal dengan Dr. KH. Didin Sirojuddin AR M.Ag pakar kaligrafi Indonesia yang lahir di Kuningan, Jawa Barat, 15 Juli 1957. Diluar tugasnya sebagai pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Didin yang melukis sejak sebelum aktif mengembangkan kaligrafi di Indonesia. Dimulai dari belajar menulis khat di Pondok Modern Gontor (1969-1975) hingga menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat sambil melukis, menulis mushaf Alquran, membuat komik-ilustrasi dan menulis khat untuk buku dan majalah, alat peraga, poster, dan kalender di Jakarta.
Tahun 1985 mendirikan Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA) di Jakarta, disusul tahun 1998 mendirikan Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi, dua kendaraan perjuangannya yang diiringi aktivitasnya menulis buku-buku kaligrafi, penjurian lomba kaligrafi di MTQ Nasional dan ASEAN, dan berkeliling membina kaligrafi di pelbagai pelosok Indonesia. Beliau tidak hanya pakar kaligrafi di Indonesia, bahkan juga telah mencetak ratusan kaligrafer handal di setiap tahunnya.
Jumat, 28 Juli 2017
NGAJI ROSO
Belajar itu pada siapa saja, bahkan mau belajar pada junior kita. Tak pernah merasa diri kita kenyang terhadap ilmu, atau merasa lebih berilmu dari orang lain. “Ngaji raso” adalah gabungan dari dua kata yaitu ngaji dan roso (rasa). “Ngaji” berasal dari kata kaji yang artinya belajar, mempelajari atau mengkaji sedangkan kata “rasa” adalah tanggapan yang dialami indra atau yang dialami hati. Kata ngaji dari istilah “ngaji rasa” lebih dekat pada kata “mengkaji”. Mengkaji menurut KBBI adalah bentuk kata kerja artinya belajar; mempelajari; memeriksa; menyelidiki; memikirkan; mempertimbangkan; menguji; menelaah. Ngaji rasa adalah mengkaji sesuatu yang menjadi tanggapan indrawi maupun tanggapan hati.
Sebab hidup manusia diberkahi dengan akal dan hati, maka akal yang mengusahakan untuk mengaji dan hati yang mengusahakan untuk merasa. Akal dan hati tidak bisa dipisahkan karena saling berhubungan, juga keduanya adalah modal utama untuk ngaji rasa. Rasa sebagai objek untuk dikaji tidak hanya sebatas perasaan yang kita rasa, namun juga rasa sebagai pengertian respon indrawi yang mencakup rasa sakit, pahit, geli, gatal, ngilu dan sebagainya.
Konsep pada falsafah ngaji rasa terletak pada keterhubungan antar rasa (rasa dan perasaan), artinya satu adalah semua dan semua adalah satu. Dalam sebuah hadis dikatakan: ibarat satu tubuh; apabila matanya marasa sakit, seluruh tubuh ikut merasa sakit; jika kepalanya merasa sakit, seluruh tubuh ikut pula merasakan sakit. Jika kita sakit gigi misalnya, maka tubuh serasa seluruhnya sakit meskipun tidak bisa kita tunjuk dan bawaannya tidak enak untuk melakukan apapun. Begitu juga seharusnya dalam lingkup sosial, empati sesama manusia. Jika temanmu merasakan penderitaan atau tersakiti maka sepatutnya kamu juga berempati untuk menolong dan menjaganya supaya ia tidak merasa tersakiti (rasa atau perasaan).
Pemaknaan tentang ngaji rasa adalah bagaimana kita mempertimbangkan sesuatu sebelum bertindak dengan sebuah pertanyaan atau pernyataan pada diri kita. Pertanyaan dan pernyataan ini benar-benar ditunjukan pada nurani diri sendiri. Di sinilah letak ngaji dalam falsafah “ngaji rasa” terutama tindakan-tindakan yang ditunjukkan pada orang lain. Contohnya, Jika kita bercanda dengan menghina keterbatasan orang lain, maka sebelumnya kita ajukan dulu pada diri kita; “jika saya di posisi dia, apakah saya juga akan merasa senang atau tidak?” Kata kuncinya adalah berbalik, balikan perasaan orang lain dengan persaanmu sendiri lewat pertanyaan dan pernyataan.
“Jika kamu tidak suka dihina, maka jangan hina orang lain. Jika kamu merasa sakit dipukul orang lain, maka jangan pukul orang lain”
“Jika kamu merasa senang dicintai orang lain, maka cintailah orang lain. Jika kamu senang di tolong orang lain, maka tolonglah orang lain”
Jauh lebih dalam pemaknaan ngaji rasa yang berhubungan dengan nurani adalah ngaji rasa pada diri sendiri dengan tindakan jelek yang dilakukan pada diri sendiri (mendzalimi diri). Sebelum mendzalimi diri sendiri maka pertimbangkan dahulu (ngaji) pada diri sendiri apakah dengan tindakan ini saya akan merasa rugi? Sombong atau iri hati misalnya, kan tidak ada ruginya bagi orang lain. Lalu apa ada yang bisa saya pertanyakan lagi sebagai bahan mengaji? Ada.
Yang saya sakiti adalah hati nurani sendiri, jika saya membiarkannya terus melakukan dosa (kejelekan) maka dalam hati nurani saya akan menjadi titik hitam per satu dosa. Jika terus menerus melakukan kejelekan makan akan banyak titik hitam dan terus menghitamkan hati nurani kita. Jika hati kita sudah sangat hitam, maka susah untuk menangkap cahaya (kebaikan). Kebaikan yang ia dapat sendiri maupun diberitahu oleh orang lain meskipun ia “tau” tentang kejelekkannya. Ingat, tau belum tentu ngerti , ngerti juga belum tentu bisa.
Begitu pula sebaliknya, jika kita melakukan yang terbaik untuk diri sendiri, siapa yang merasa untung dan senang? Tidak hanya diri kita tapi juga orang lain, dan itulah konsep holistik dalam falsafah “ngaji rasa” karena jika diri sendiri sudah baik pasti akan berdampak pada orang lain. Disadari atau tidak, kebaikan dan kejelekan pasti akan menular.
Bayangan saya jika setiap pejabat benar-benar mempertimbangkan rasa dan perasaan sebelum bertindak untuk dirinya atau orang lain, maka penyakit negeri ini prihal korupsi akan hilang. Koruptor yang marak sekali saat ini saya yakin tidak mempertanyakan diri atas pertimbangan kerugiannya jika ia di posisi rakyat yang didzalimi penguasa korupnya dengan sepenuh hati. Demikian sekilas catatan saya tentang ngaji rasa sesuai dengan pemaknaan yang saya pahami. Ngaji rasa akan menciptakan keselarasan cinta dan kasih antar manusia dan semua ciptaan Tuhan. Ngaji roso dan ngaulo lalu ngalelah. Depok, 29 juli 2017