Rabu, 13 Desember 2017

Antara seni dan pengalaman empiris jiwa dalam berkarya. Oleh H. Purwanto Zain 2017

"ANTARA SENI DAN PENGALAMAN EMPIRIS JIWA DALAM BERKARYA."
Purwanto Zain,
Sukoharjo, 5 november 2017.

Menjalani hidup itu seperti orang melukis. Ia mengabadikan rasa. Kehidupan adalah seni. Setiap langkah yang kita tapakkan akan menghasilkan pengalaman estetik juga sebuah seni. Dalam diri masing-masing jiwa juga mempunyai sendiri dalam menjalani hidupnya. Hanya saja ada yang mengolah seni tersebut dengan maksimal, namun banyak juga yang tidak bisa menangkap signal dari seni dalam hidup sehingga berjalan datar tanpa riak-riak penambah semanggat dalam hidup.

Masing-masing jiwa memiliki sifat kesenian. Hanya dengan menggumamkan lagu, berkata-kata itu juga itu juga sudah termasuk melakukan aktivitas seni. Jangan berpikir seni harus seperti pertunjukan yang indah dan ditonton ratusan orang, karena cara kita memandang kehidupan juga sebuah seni. Seni yang mengalir dalam jiwa bisa diolah dan diarahkan ke tujuan yang ingin dicapai.

Inspirasi bisa datang dari mana saja, segala sesuatu yang bisa dilihat maupun yang bisa dirasakan pada saat itu, namun apabila diperhatikan hal-hal yang kecil disekitar bisa menjadi sebuah inspirasi. Terkadang orang-orang disekitar juga secara tidak langsung menjadi inspirasi.

Apabila peka sebenarnya segala yang dimiliki tiap orang ini akan terasa indah. Bahagia karena seniman mendapatkan uang dari sesuatu yang disukai yaitu seni. Tidak sedikit masukan yang mengatakan bahwa seniman harus mengikuti trend yang sedang hits saat ini, tapi tetap harus menjadi diri sendiri dan meluapkan apa yang ingin di ekspresikan.

Di sela-sela jadi dewan juri Mapsi ke-20 Jateng di kota Sukoharjo, saya banyak ngobrol dengan budayawan, pelukis, penulis buku Dr. Sudana M.Ag dosen UMS Surakarta yang banyak menginspirasi saya betapa indahnya hidup ini jika selalu saling bersinergi dalam seni dan pengalaman empiris jiwa dalam berkarya. Esensi estetik bisa menjadi satu sarana di mana bahagia, rindu, semanggat, dendam, dan hal hal lain yang bersifat spiritual diungkapkan secara kompleks. Tapi di atas semua itu, kompleksitasnya mula-mula ditentukan oleh dan dengan "rasa" dan kalbu.

Maka, situasi sublim kadang ditentukan oleh hening.  Orang Jawa menyebutnya dengan istilah "meneng". Setelah itu seseorang akan meraih maqam "menep", yaitu situasi di mana residu dalam deru hidup memisahkan diri. Jadilah "bening", yaitu yang ada adalah kejernihan. Dan lalu menaik di maqam "wening". Yaitu situasi di mana seseorang bisa membaca tanda-tanda dan bahasa alam, tanpa melalui simbol atau bahkan kata kata.

Dalam keheningan, seseorang bisa mencecap rindu dan keasyikan. Di situlah kebahagiaan ada, tanpa simbol dan kata-kata. Situasi yang dalam kearifan Jawa dikenal sebagai "salat daim".

Banyak orang sibuk berjalan dan bahkan berlari mencari kebahagian dan kedamaian dari dan di luar dirinya. Padahal, sejatinya yang ia cari, ada dalam dirinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung, silahkan meninggalkan pesan atau menulis komentar